Wednesday 12 October 2011

Kanker Leher Rahim (1)

          Di dunia ini setiap 2 menit satu orang wanita meninggal karena kanker leher rahim. Di Indonesia kankerini merenggut sekitar 800 nyawa per tahun. Mengapa lebih banyak kasus kanker leher rahim di Asia khususnya di Indonesia dibanding dengan di Negara-negara maju? Bagaimana meminimalkan factor risiko atau mencegah kanker leher rahim? Dan kalau sudah kena, perlukah operasi?
          ANDA mungkin kaget terhenyak seperti disambar petir? Selama ini Anda rajin memeriksakan kesehatan payudara Anda dengan mammography. Namun mungkin Anda agak teledor karena tidak teratur memeriksakan diri ke dokter ginekologi. Kini mungkin Anda tidak percaya membaca berita ini.

          Tak salah memang, ada 500.000 kasus kanker leher rahim setiap tahunnya teridentifikasi di seluruh dunia, tulis Dr Tommy Dharmawan dalam wawancara via e-mail dengan Nirmala. Delapan puluh persennya berada di negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Dokter lulusan Ul ini sedang mengambil spesialisasi pencegahan dan pengobatan kanker leher rahim di negara-negara berkembang khususnya Indonesia, di Leiden University, Belanda. Kalau di Asia kanker ini termasuk pembunuh kedua setelah kanker payudara, di Indonesia kanker leher rahim merupakan pembunuh nomor satu di kalangan pasien kanker wanita (data dari RS Cipto Mangunkusumo). Dari RSCM pula diketahui bahwa kini diperkirakan ada 48 juta wanita Indonesia berisiko kanker leher rahim (kanker serviks).



Deteksi dini kanker leher rahim
          Kekagetan Anda tidak mengherankan dan cukup beralasan. Dulu yang dibesar-besarkan selalu kanker payudara. Masih ingat petunjuk dan gambar-gambar cara mendeteksi benjolan kanker payudara? Memang ada anjuran untuk secara teratur memeriksakan diri dengan pap smear. Namun nadanya tidak pernah urgent atau wajib. Koran dan majalah juga jarang mengungkapkan data jumlah penderita kanker serviks.

          Meski begitu, bukan berarti dulu tidak ada korban kanker serviks. Hetty Yosana (67 tahun) misalnya, pada awal Januari 1980 (jadi, 27 tahun yang lalu) mengalami pendarahan di luar haid. Meskipun perdarahan tidak terus menerus, namun Hetty memeriksakan diri ke dokter kandungan yang terkenal. Diagnosa dokter membuatnya kaget dan syok. Hetty menderita kanker leher rahim stadium lanjut.

Hetty tidak pernah menduga bahwa dirinya bakal kena kanker serviks, dan dia pun tidak pernah secara serius mempelajari kanker tersebut sehingga tidak tahu pula gejala-gejalanya. Padahal jika sering ada penyuluhan tentang kanker serviks segencar penyuluhan kanker payudara, mungkin kanker Hetty tidak akan sampai pada stadium lanjut.

           Tidak hanya pendarahan di luar haid saja yang perlu diwaspadai sebagai gejala kanker leher rahim, gejala lainnya antara lain keputihan yang tidak sembuh-sembuh dan berbau busuk, pendarahan setelah menopause, dan pendarahan setelah hubungan seksual.

          Alasan utama mengapa kanker leher rahim (atau kanker serviks) meningkat dan menjadi penyebab kematian tertinggi di kalangan wanita penderita kanker di Indonesia, adalah karena pasien baru datang berobat setelah penyakitnya berada pada stadium lanjut. Salah satu penyebab diagnosis terlambat adalah karena 90% kanker ini tidak memperlihatkan gejala dini, sehingga penderita tidak menyadari bahwa dirinya mengidap kanker. Mereka, terutama pasien di Indonesia, baru ke dokter setelah mengalami pendarahan vagina berkelanjutan. Padahal gejala ini mengindikasikan bahwa kanker leher rahim sudah berada pada stadium lanjut.

          "Jika kanker serviks ditemukan lebih dini, maka tingkat kesembuhannya bisa mencapai 100%," kata Dr Nugroho Kampono, SpOG(K) dalam peluncuran kampanye "Cegah Kanker Serviks" pada 18 April 2007 di Jakarta yang diselenggarakan oleh Yayasan Kanker Indonesia (YKI). Kanker serviks menempati urutan pertama jenis kanker yang paling banyak diderita wanita Indonesia. Menurut YKI, setiap tahun tercatat 1.500 kasus baru kanker leher rahim dan setiap tahun kanker ini merenggut sekitar 800 nyawa pengidapnya

Mengapa lebih sedikit di Barat?
          Disini tampak betapa pentingnya disiplin melakukan pap smear untuk pencegahan. Dokter Tommy membandingkan kasus kanker leher rahim di Belanda dan di Indonesia. Menurut penelitian Female Cancer Programme Foundation pada Agustus 2006 diketahui bahwa prevalensi kanker serviks di Indonesia 100 kasus per 100.000 orang, sedangkan di Belanda hanya 9 kasus per 100.000 orang. Padahal kanker ini ditularkan lewat hubungan seksual yang di negara-negara Barat (termasuk Belanda) lebih permisif dibanding di Indonesia. penyuluhan di negara-negara Barat sudah sedemikian baiknya sehingga kaum wanitanya sadar dan disiplin memeriksakan diri ke dokter. Dengan demikian korban kanker serviks sangat minim. Sebaliknya dengan Indonesia, umumnya kaum wanita enggan melakukan pap smear karena berbagai alasan.

            Minimnya pemberitaan dan penyuluhan tentang kanker leher rahim pun merupakan salah satu factor yang dihadapi Indonesia dalam usaha mencegah kanker serviks. Hal ini menurut Dr Tommy Dharmawan disebabkan langkanya data tentang kanker-kanker wanita di Indonesia sehingga pemerintah tak punya program untuk menyebarluaskan pengetahuan tentang kanker-kanker wanita khususnya kanker leher rahim. Di Singapura, secara berkala pemerintah mengadakan penyuluhan tentang kanker di pusat-pusat perbelanjaan, yang diperagakan oleh artis-artis Singapura seperti yang terjadi pada 28 Maret 2007.

            Namun belakangan ini agaknya Indonesia pun mulai menyadari pentingnya mensosialisasikan pengetahuantentang kanker serviks, terbukti dari diluncurkannya kampanye "Cegah Kanker Serviks" oleh Yayasan Kanker Indonesia (YKI). Dua orang selebriti, Annisa Pohan dan Ira Wibowo, diangkat menjadi duta kampanye. Mereka akan sering membantu YKI memberikan penyuluhan-penyuluhan ke seluruh Indonesia.

          Keadaan tersebut – terlambatnya penderita kanker serviks berobat - sungguh ironis karena saat ini diagnosis dini dan pengobatan kanker sudah sedemikian maju dan mudah dilakukan. Apalagi telah diketahui bahwa kanker jenis ini biasanya tumbuh lambat, sehingga kesempatan untuk mendeteksi dini masih bisa dilakukan dengan leluasa.

Pemicu kanker leher rahim
          Ketika ketahuan menderita kanker leher rahim, Hetty hanya diberi tahu dokter bahwa ia kena infeksi pada serviksnya disebabkan oleh penggunaan spiral. Tak ada keterangan lain kecuali bahwa dia harus menjalani kemoterapi dan minum obat-obatan.

          Menurut Dr Syarief Darmasetiawan, spesialis kandungan dan kebidanan khusus kanker serviks, ada beberapa faktor luar (seperti infeksi, virus dll.) yang bisa menyebabkan sel-sel di daerah itu berkembang tidak semestinya dan lambat laun berubah menjadi kanker. Kini para ahli menduga kuat bahwa penyebab utama kanker leher rahim adalah infeksi HPV (Human Popilloma Virus) yang ditularkan lewat hubungan seksual. Ladang pembiakan yang paling subur untuk virus ini adalah saluran penghubung antara vagina dan serviks,yaitu bagian paling bawah rahim (lihat gambar sketsa).

           Pria yang sering berganti pasangan seksual, potensial menularkan virus tersebut pada pasangannya. Demikian juga pria yang tidak disunat, karena menurut Dr Anton Budiono, MS, M Farm, mereka sering menderita radang pada lipatan kelamin yang tidak disunat. Wanita usia belasan tahun pun bisa terinfeksi HPV. Faktor-faktor lain pemicu kanker serviks adalah menggunakan alat kontrasepsi lebih dari 5 tahun (ini kasus Hetty Yosana), infeksi berkelanjutan pada alat kelamin (misalnya trichomonas), melahirkan anak lebih dari lima, sering menggunakan obat-obatan yang menekan imunitas tubuh (immunosuppressant), dll.

          Setelah terinfeksi, sekitar 10% virus tersebut menetap di sana, dan aktif di saat-saat kondisi wanita itu menurun misalnya ketika haid. Namun menurut Dr Tommy, perkembangan HPV bisa terhambat jika imunitas tubuh kuat sehingga lama kelamaan virus akan hilang dari tubuh (clearance). Menurut Dr Tommy Dharmawan maupun Dr Syarief Darmasetiawan, kanker serviks bisa muncul 10 tahun setelah terinfeksi HPV. Dan menurut YKI kemungkinan kanker tersebut baru diketahui setelah 20 atau 30 tahun kemudian, yaitu setelah infeksi kanker menyebar. Karena itu umumnya wanita paruh baya-lah yang terdeteksi mengidap kanker leher rahim.

 Vaksin HPV, pap smear, VIA
         Salah satu program preventif baru yang telah dilakukan di negara-negara Barat adalah vaksinasi HPV. Meskipun masih tergolong baru, namun vaksin ini telah digunakan secara meluas di banyak negara Barat. Namun karena harganya mahal (US$350 di Amerika) negara-negara berkembang belum banyak menggunakannya. Menurut Dr Syarief Darmasetiawan vaksin HPV diperkirakan sudah bisa didapat di Indonesia akhir tahun ini dengan harga $100 sekali suntik. Vaksin ini diberikan secara bertahap pada bulan 0, bulan 2, bulan 6 untuk imunisasi dasar agar wanita terlindung dari HPV. Angka efikasi (keampuhan) vaksin HPVmencapai 96-100% (penelitian di Barat tahun 2006). Namun vaksin akan sangat bermanfaat jika diberikan kepada wanita-wanita muda yang belum aktif secara seksual sebelum berusia 15 tahun.

          Mengingat harganya yang sangat mahal, disarankan (terutama untuk Indonesia) menggunakan pap smear dan VIA (visual inspection acetic acid). setiap wanita seharusnya melakukan pap smear sejak dirinya aktif secara seksual sampai usia 65 tahun. Dilakukan satu kali setahun. Namun jika 2 atau 3 kali pap smear hasilnya negatif, maka boleh diulang kembali setiap 3 sampai 5 tahun sekali. Menurut Dr Tommy tes pap smear masih tetap menjadi standar utama. YKI mematok harga 40.000 rupiah untuk pap smear.

           Sedangkan metode VIA. mampu membedakan serviks yang normal dan yang abnormal. Ditemukan pada tahun 1925 oleh Hinselman, cara ini dinilai Dr Tommy juga cocok bagi kondisi di Indonesia, karena paling akurat dan cepat mengidentifikasi pra kanker.

          VIA adalah pemeriksaan vagina secara visual dengan menggunakan asam asetat 3-5% yang dibalurkan pada mulut rahim. Dibiarkan selama 20-30 detik untuk melihat efeknya. Sel-sel pra kanker berubah menjadi putih setelah dibalur dengan asam asetat. Dengan demikian metode VIA dapat digunakan secara lugs, karena tidak diperlukan proses laboratorium, dan hasilnya segera dapat diketahui. Yang perlu dilakukan pemerintah adalah mempopulerkan metode ini dan mendidik tenaga-tenaga kesehatan agar terampil melakukan VIA, terutama di daerah yang sulit dijangkau.




(bersambung)

0 comments:

Post a Comment